Sejarah sesuai dengan keterangan dari ibu Sulistiani (istri
Pdt. Sri Hadijanto)
Adalah Johanes Emde, yang lahir di tengah keluarga
Kristen dari gereja yang beraliran pietisme (yang mementingkan kesalehan
hidup). Sebagai petualang, pada 1811 ia kemudian tinggal di Surabaya dan
menjadi seorang tukang arloji. Istrinya, Amarentia Manuel adalah seorang putri
priyayi Jawa*.
Pada waktu Pdt. Bruckner -pendeta generasi pertama
utusan NZG, badan pekabaran Injil Belanda ke tanah Jawa- menerjemahkan Kitab Suci
dalam bahasa Jawa, ia mendapatkan salinannya.
Dalam pandangan Emde dan istrinya, buku tersebut
lebih baik disebarluaskan kepada orang-orang Jawa. Lewat perantaraan anak
gadisnya (nama?), buku ini diterima penjaja sarung keris (mranggi) yang
kemudian dikenal namanya Pak Midah, seorang Madura dari kampung Pegirikan,
Surabaya. Peristiwa yang terjadi di pasar hewan pada 1826 ini berlangsung
begitu saja, tidak ada kelanjutan apa-apa.
Karena tidak bisa membaca, buku (lebih tepatnya
traktat) tersebut diberikan kepada Pak Dasimah, seorang Jawa yang tinggal di
daerah Wiyung. Sebagai seorang modin desa, ia lantas berusaha mengerti apa isi
dari traktat itu. Mereka merasa heran dan tertarik dengan tulisan pembukanya.
Terlebih lagi dengan kata “Putra Allah” dalam sebuah kalimat Purwane Evangelion
Saking Yesus Kristus Putrane Allah (“Inilah permulaan Injil tentang Yesus
Kristus, Anak Allah”).
Ternyata yang sedang mereka baca adalah terjemahan
Injil Markus. Meski tidak mengerti, mereka terus berusaha menggumuli ‘buku aneh’
tersebut. Apakah mungkin Allah yang Esa memiliki anak? Pengertian yang sangat
bertolak belakang dengan kepercayaan yang dimilikinya. Elmu baru apakah ini?
***
Pada saat hampir bersamaan, Coenraad Laurens
Coolen, kelahiran Semarang tapi peranakan Rusia-Jawa menjadi seorang sinder
blandong (pengawas kehutanan Belanda). Meski ia dididik secara keras agama
Kristen, tapi berkat pergaulan yang erat dengan penduduk desa, ia sangat paham
dengan ngelmu Jawa.
Pada 1827 Coolen berhenti dari jabatan sinder
blandong dan meminta izin membuka hutan di Ngoro (sebelah selatan Jombang).
Beberapa waktu lamanya, tempat ini menjadi sangat ramai.Coolen menjadi seorang
pemimpin baru. Pada waktu inilah ia juga menerjemahkan Pengakuan Iman Rasuli,
10 Hukum, dan Doa Bapa Kami ke alam bahasa Jawa.
Sekitar tahun 1835 (mungkin 1833) berlangsung
upacara perkawinan di desa Wonokuli, dekat Wiyung. Perayaan ini dilangsungkan
di rumah Kyai Kunthi, seorang yang sering pergi ke Ngoro dan tinggal beberapa
bulan lamanya.
Dalam acara ini, hadir juga Pak Sadimah, salah
seorang sahabat Pak Dasimah yang sering mengikuti kumpulan di Wiyung untuk
membicarakan ngelmu baru Injil Markus. Ia mendengar kesamaan antara doa yang
diucapkan oleh Kyai Kunthi dengan buku yang dipelajarinya.
Saat itu Kyai Kunti tengah melafalkan Pengakuan
Iman Rasuli gubahan Coolen. Selama mendengarkan doa itu, Pak Sadimah mengerti
bahwa dalam doa-doa itu disebut nama Yesus Kristus, Anak Allah, sama dengan
yang mereka pelajari selama ini.
Kejadian ini lalu diceritakan kepada Pak Dasimah.
Bukan main senangnya ia. Lalu, bersama kawan-kawannya mereka berangkat ke Ngoro
untuk mendengar langsung pengajaran dari Coolen. Oleh Kyai Kunthi mereka
diperkenalkan kepada Ditotruno, seorang pembantu Coolen yang mengurusi Desa
Ngoro, sebelum akhirnya mereka bertemu langsung dengan Coolen sendiri.
Coolen tentu saja heran melihat kegigihan
orang-orang Jawa asal Wiyung ini, karena mereka harus berjalan kaki 25 jam
lamanya. Sejak itu, rombongan dari Wiyung ini meguru (berguru) kepada Coolen.
Namun mengingat biayanya banyak, belum lagi jalan yang dilalui berat dan sukar,
maka selama 5 tahun itu, sekali dalam setahun mereka berkunjung ke Ngoro.
Beberapa bulan lamanya mereka mendapat berbagai pengajaran tentang agama
Kristen. Sekembalinya mereka ke Wiyung, mereka mengadakan kebaktian setiap hari
Minggu, seperti pengajaran yang diberikan Coolen.
***
Pada tahun 1840-1841, sebuah peristiwa yang tidak
bisa dianggap kebetulan terjadi lagi. Anak Pak Dasimah yang bekerja sebagai
pemotong rumput menawarkan rumputnya ke rumah Emde. Oleh istri Emde, ia ditanya
tentang berbagai hal hingga membuatnya yakin bahwa anak Pak Dasimah ini
memiliki pengetahuan yang lebih tentang agama Kristen. Oleh karena itu Emde dan
istrinya berniat mengundang orang tuanya.
Akhirnya terjadi jua pertemuan itu. Sikap baik
ditunjukkan oleh keluarga Emde. Selanjutnya, Emde juga mengunjungi orang-orang
Kristen di Wiyung. Hal ini sangat mengherankan Pak Dasimah dan kawan-kawannya
karena cara suami-istri ini berbeda dengan Coolen. Selanjutnya mereka menerima
berbagai ajaran tentang agama Kristen. Salah satunya adalah soal baptisan,
bahan pengajaran yang tidak mereka terima saat berada di Ngoro.
Dengan penuh keyakinan, orang-orang Wiyung ini
menghadap Emde agar diperkenankan mengikuti sakramen Baptis, karena mereka
sudah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, sudah merasa sebagai orang Kristen.
Akhirnya mereka diperkenalkan dengan AW Meyer, pendeta yang menggembalakan
jemaat Belanda di kota Surabaya.
Akhirnya, pada 12 Desember 1843, sebanyak 35 orang (18
laki-laki, 12 wanita dan 5 orang anak) menerima sakramen pembabtisan. Tanggal
inilah yang pada tahun 1993 lalu diperingati sebagai hari I baptisan cikal
bakal GKJW.
Setelah peristiwa ini, Pak Dasimah dan kawan-kawan
berkunjung kembali ke saudara-saudara mereka di Ngoro dan meminta penjelasan
tentang baptisan ini. Coolen sebenarnya tidak menghendaki jikalau manusia Jawa
merasa menjadi sesama orang Belanda. Ia khawatir, dengan baptisan itu mereka
menjadi sombong dan merasa diri sama dengan orang Belanda. Karena itu ia marah
setelah mengetahui bahwa mereka telah dibaptis.
Pak Dasimah dan para sahabatnya diusir dan dilarang
tinggal di Ngoro. Tetapi sebelum pergi, semalam suntuk mereka membicarakan hal
itu dengan saudara-saudara di Ngoro. Beberapa orang di antaranya kemudian
mengikuti jejak Pak Dasimah dan kawan-kawan untuk mendapatkan baptisan.
Ditotruno, salah seorang di antaranya pun mengalami peristiwa serupa. Ia diusir
dari Ngoro.
Namun demikian, Ditotruno yang diberi nama baptis Kyai Abisai justru
hendak mengikuti jejak Coolen. Ia ingin membuka hutan sendiri. Daerah yang
menjadi pilihannya ada di sebelah utara desa Ngoro, kira-kira 10 km jauhnya.
Hutan angker bernama Dagangan itu berhasil dibukanya. Banyak orang tertarik
sehingga desa ini berkembang pesat. Nama Dagangan kemudian diganti menjadi
Mojowarno, karena letaknya tidak begitu jauh dari peninggalan kerajaan
Majapahit.
Orang-orang Kristen yang jumlahnya semakin
bertambah banyak dan tersebar di mana-mana itu kemudian membentuk
pasamuwan-pasamuwan (jemaat). Hingga pada tahun 1931, tepatnya tanggal 11
Desember menggabungkan diri dalam sebuah persekutuan gerejawi bernama Oost
Javaansche Kerk (Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing tanah Djawi Wetan).
Perlu diketahui bahwa penggunaan nama Greja Kristen
Jawi Wetan (sengaja mempergunakan ejaan bahasa Jawa) tidak dimaksudkan bahwa
GKJW sebagai gereja suku. Nama ini hanya menunjukkan tempat (gereja
teritorial). Artinya, GKJW terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi
jemaatnya. Kenapa hanya di Jawa Timur? Karena di sanalah ladang pelayanannya,
bumi tempatnya berpijak. Di luar Jawa Timur, GKJW mengakui keberadaan rekan
kerja Allah yang lain.
Dalam hubungan oikumenis, GKJW terlibat dalam Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia (PGI wilayah Jawa Timur-Surabaya dan pusat-Jakarta), Christian Conference of Asia (CCA-Hongkong), World Alliance of Reformed Church (WARC-Genewa), World Council of
Churches (WCC-Genewa), United Evangelical
Mission (UEM-Germany).
Sementara, dalam hubungan dengan lembaga lain, GKJW terlibat dengan Universitas Kristen Duta Wacana(UKDW-Yogyakarta), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW-Salatiga),
Sekolah Tinggi Theologia (STT-Jakarta).
Selain itu, secara intern aktivitas pelayanan GKJW
juga merambah pada misi sosialnya. Antara lain lewat Yayasan Kesehatan (YK
GKJW) untuk bidang kesehatan. Yasasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK GKJW)
untuk bidang pendidikan. Lembaga Pendampingan Masyarakat (LPM GKJW) untuk
bidang sosial. Pokja Peningkatan Ekonomi Warga (Pokja PEW) dalam bidang
perekonomian.
*catatan:
Peran wanita dalam sejarah GKJW sebenarnya cukup sentral. Hanya saja,
text book selama ini menurut kacamata penulis yang notabene Belanda,
mengakibatkan peran kaum pribumi terabaikan. Hal ini terbukti dengan peran
Amarentia Manuel, istri Johanes Emde serta salah seorang putri mereka. Berdasar
kajian ulang, ditengarai Amarentia Manuel-lah yang lebih berperan dalam
pemberitaan Kabar Baik kepada orang-orang Jawa. Alasannya, sebagai sesama
pribumi, suku Jawa, tentu lebih mudah beradaptasi dan menyelami kebudayaannya
ketimbang orang lain yang masih asing. Apalagi, dengan faktor bahasa yang ada,
istri Emde tentu lebih menguasainya dengan baik
(Keterangan ini diperoleh dari ibu Sulistiani (istri Pdt. Sri
Hadijanto), yang juga termuat dalam buku sejarah Cikal Bakal GKJW Jemaat
Surabaya – 2006)
(isi di ambil dari http://www.gkjw.web.id/sejarah-gkjw-bermula-dari-pasar-hewan)
Sejarah Pembentukan GKJW Versi
Wikipedia
Deklarasi GKJW sebagai gereja dilakukan dengan
melalui pendirian suatu Majelis Agung (MA) yang merupakan upaya mempersatukan
29raad pasamuwan alit (majelis jemaat) di seluruh Jawa Timur.
MA merupakan suatu wadah sinodial yang telah
ditawarkan oleh persekutuan pekabar Injil dari Belanda, yang selama hampir 100
tahun menjadi pengampu jemaat-jemaat Kristen Jawa tersebut. Saat itu, ada dua
kelompok pekabar Injil yang bekerja di antara orang Kristen di Jawa Timur,
yakni Nederlandsche Zending-genootschap (NZG) dan suatu panitia pekabar bernama
Java Comite.
Dalam dekrit pengurus pusat NZG ditandatangani
Konsul Jenderal Th. Boetzelaer van Dubbeldam, tertanggal 15 Oktober 1931, ditawarkan pendirian suatu
gereja bagi orang Jawa Timur sebagai tindakan strategis dalam pekabaran Injil
di Jawa.
Bila dicermati, pendirian MA merupakan suatu siasat
Nederlands Zendeling-genootschap (NZG) – yang saat itu menjadi pengampu
berbagai jemaat Kristen bumiputra di Jawa Timur. Tekanan sosial politik yang
muncul akibat tumbuhnya kesadaran nasionalisme Indonesia, seiring dengan
mengerucutnya tekanan terhadap kristianisme di Nusantara, menghantar dibentuknya
MA.
Pendirian MA sebagai wujud kesatuan sinodial, tak
lepas dari usulan Dr. H. Kraemer, utusan Nederlands Hervormd Kerk
(NHK) Belanda yang bekerja untuk NZG, guna mewujudkan suatu jemaat kristiani
berbasis kewilayahan di Hindia Belanda sebagai sebuah gerakan kultur sekaligus
politik.
Bahkan selanjutnya MA GKJW didaftarkan ke Mahkamah
Hindia Belanda sebagai suatu recht-persoon (badan hukum), sehingga memiliki
kewenangan mengelola aset dan bertindak sebagai organisasi yang diakui
pemerintah. Tampak, pendirian MA merupakan suatu siasat kebudayaan yang berada
dalam koridor dinamika politik Hindia Belanda.
Sidang
Pertama Majelis Agung
Sidang perdana MA diadakan keesokan hari setelah
deklarasi, bertempat di gedung gereja Jemaat Mojowarno, Sabtu 12 Desember 1931.
Mewakili NZG hadir C.W. Nortier (Ketua MA), C. van Engelen, S.A. van
Hoogestraten dan J. Wiegers. Wakil umat Kristen Jawa Noeroso, Sriadi, Pdt.
Driyo Mestoko, Guru Injil (GI) Tartib Eprayim, Poertjojo Gadroen, Jaret Parang,
Raden Poeger, Raden Wiriodarmo dan kawan-kawan.
Anggota sidang yang hadir pagi itu, sebenarnya
bukan muka baru. Mereka adalah aktifis yang sejak lama berkutat dalam
pergerakan Jemaat Kristen Jawa. Sejak Rencono Budiyo (berdiri 1898), Mardi
Pracoyo (1912), Perserikatan Kaum Kristen (1918), hingga Panitia Pitoyo (1924)
yang mempelopori pemandirian Jemaat Mojowarno, mereka sibuk mendorong
pemandirian GKJW.
Sebelum sidang dibuka, seorang mantri guru dari
Mojowarno, Soetikno, menyerahkan sebuah palu kayu jati buatannya sendiri. Palu
itu ber- candra sengkala "manjalmaning resi wadaning Kristus" yang ditranslasi ke dalam angka
akan berbunyi 1931, yang merupakan tahun
persidangan. Sejak saat itu menjadi tradisi GKJW, palu bikinan Soetikno hanya
dipakai pada sidang MA saja.
Sebagai tema sidang diambil Pilipi 4:4-9, dengan penekanan pada ayat 6
yang berbunyi, Janganlah kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi
nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan
dengan ucapan syukur.
Sekretaris pertama MA daur dipilih melalui
pemungutan suara. Calon terpilih adalah Raden Poeger (10 suara), melewati
Moeljodihardjo (9 suara) dan Kentjono (5 suara). Pemilihan dilanjutkan dengan
Bendahara MA, di mana terpilih seorang mantri guru, Poertjojo Gadroen (12
suara).
Dualisme
Kepemimpinan Gereja
Semasa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945), timbul perpecahan di dalam
tubuh GKJW yang disebabkan oleh proses politik dari praktik kolonial Jepang.
GKJW mendapat sorotan saat itu karena dipandang sebagai kelompok orang Jawa
dengan afiliasi ke Belanda.
Sejumlah jemaat Kristen Jawa mengalami kesulitan
untuk beribadah dan setelah penyiksaan terhadap sejumlah orang Tionghoa dan
Kristen di Keresidenan Besuki, muncul desakan dari sejumlah tokoh Kristen Jawa
untuk mencari perlindungan kepada Pemerintah Jajahan Jepang di Indonesia.
Pada tahun 1943 berdiri Raad Pasamuwan Kristen
(RPK) di Jawa Timur untuk memenuhi maksud tersebut. Terjadi dualisme, karena
baik RPK maupun MA GKJW sama-sama memiliki pengikut di sejumlah jemaat Kristen
Jawa Timur.
Dualisme ini tidak berkepanjangan, karena
tokoh-tokoh Kristen Jawa banyak ditangkap menjelang akhir Perang Dunia ke II,
antara lain: Pdt.Driyo Mestoko, Pdt. Tasdik, DR. B.M. Schuurman, Yeruboham Mattheus dan lain-lain. Akibatnya baik RPK
maupun MA GKJW sama-sama berada dalam keadaan vakum hingga Jepang akhirnya
menyerah 14 Agustus 1945.
Melalui Persidangan MA GKJW di Jemaat Mojowarno,
tanggal 4-6 Agustus 1946 dilakukan rekonsiliasi untuk
mempertemukan kedua kubu yang pernah sama-sama memimpin umat Kristen Jawa
Timur. Rekonsiliasi tadi ditandai sebuah ibadah perjamuan kudus pada tanggal 5 Agustus yang
selanjutnya diperingati sebagai Hari Pembangunan (atau lebih tepat Kebangunan)
GKJW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar